Minggu, 21 Desember 2008

TUHAN Menamai

TUHAN Menamai
Kejadian 1:5
Penciptaan dimulai dari suatu ‘ide’ dalam pikiran Elohim yang kita sebut ‘Davar’ (lihat SUKA edisi sebelumnya). Ide ini kemudian bermanifestasi melalui perkataan dan karya Elohim yang kita sebut ‘Amar.’

Ide awal yang ada dalam Davar Elohim adalah or (terang). Kita sudah membahasnya pada edisi sebelumnya. Namun, harus dipahami bahwa hari pertama dalam penciptaan tidak selesai sampai pada tataran ‘ide’ dan manifestasi semata. Penciptaan pada hari pertama diikuti dengan suatu proses berikutnya yang disebut badal (memisahkan).

Perhatikanlah Kejadian 1:4 “TUHAN melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap.”

Dalam naskah Ibraninya, ayat ini berbunyi “Wayyare Elohim eth-ha’or ki-tov wayyavdel Elohim ben ha’or uven hakhoshekh.

Jika kita mencoba memahami maksud teks itu, terjemahan LAI sudah cukup mewakili makna yang hendak disampaikan dalam teks aslinya. Namun, tidak ada salahnya jika kita menggalinya lebih dalam.

Wayyare Elohim

Wayyare Elohim” (dan Elohim melihat). Dalam Bahasa Ibrani, kata wayyare berakar dari kata ra’a. Kata ini memiliki arti yang cukup luas: “menyetujui, memperhatikan, menyadari, dan sebagainya.” Ra’a tidaklah sekedar melihat begitu saja. Ra’a adalah suatu proses evaluasi yang tidak sekedar melibatkan penglihatan, tetapi juga perhitungan dan nalar.

Dalam gambaran sederhana, dapat diibaratkan ketika Anda melihat sebuah lukisan yang menarik menurut Anda. Yang terjadi sebetulnya bukan sekedar melihat, tetapi ada proses mengamati, memperhatikan dengan seksama, meneliti, mengevaluasi, dan akhirnya menyimpulkan. Semakin lama proses ini berlangsung dalam pikiran Anda, maka akan semakin baik kesimpulan yang Anda ambil.

Ketika Elohim menciptakan ‘terang,’ IA mengamati, memperhatikan, meneliti, mengevaluasi dan kemudian menyimpulkan. Artinya, Elohim telah memperhitungkan dengan nalar-NYA, yaitu yang kita sebut Davar, apa yang menjadi hasil ciptaan-NYA.

Namun, hal penting yang harus kita pahami di sini adalah penggunaan kata ra’a (melihat) kepada Elohim tidak bisa disamakan dengan penggunaan kata ra’a pada manusia. Ini hanyalah bentuk anthropomorfis atau cara penggambaran dengan menggunakan pengandaian manusia. Jadi, teks ini bukan mau mengatakan bahwa Elohim memiliki mata dan pikiran sama seperti manusia. IA tidak memiliki mata seperti manusia yang dapat membatasi jangkauan penglihatan-NYA, demikian juga IA tidak memiliki pikiran seperti manusia yang membutuhkan waktu untuk melakukan proses mengamati, memperhatikan, meneliti, mengevaluasi dan menyimpulkan.

Dalam narasi-narasi Perjanjian Lama (PL) berikutnya, kita akan menjumpai banyaknya penggambaran semacam ini. Mengapa? Jawabannya sederhana, sebab P menulis untuk manusia yang membutuhkan jawaban yang sederhana dan mudah dipahami. Di sisi lain, P berhadapan dengan berbagai filosofi kuno di sekitarnya yang juga membutuhkan jawaban atas peristiwa penciptaan alam semesta.

Akibatnya, naskah-naskah P, demikian juga sumber-sumber yang lain, menjadi suatu rangkaian tulisan yang menggabungkan antara pemahaman-pemahaman sederhana di antara pembacanya dengan pemahaman-pemahaman filosofis yang perlu ditafsirkan berdasarkan konteks ketika ia dituliskan.

Ha’or ki-tov

Eth ha’or ki-tov” (bahwa terang itu baik). Dalam contoh sederhana, naskah ini ibarat menceritakan bagaimana seseorang berhasil menyelesaikan tugasnya dan menganggap bahwa tugas yang ia lakukan itu baik. Jadi, “baik” di sini memiliki pengertian yang luas. Ia bisa diartikan sukses, sesuai rencana, menarik, indah, tanpa cacat, dan sebagainya.

Ketika seseorang menilai bahwa apa yang ia kerjakan itu “baik,” maka yang perlu kita ketahui bahwa penilaian itu adalah penilaian pribadi. Artinya, ia tidak memberi penilaian berdasarkan pendapat orang lain. Demikian juga dengan penciptaan terang oleh Elohim. IA menilai bahwa terang itu baik menurut ukuran-NYA. Penilaian ini melengkapi proses penciptaan dengan suatu pujian dari Sang Pencipta itu sendiri. IA menghargai hasil karya-NYA sendiri. Karya itu “baik” di “mata” Elohim, mengandung arti bahwa karya itu “baik” karena Elohim menerimanya dan menghargainya.

Nampaknya ini bukanlah karakteristik yang hanya dimiliki oleh P. Berdasarkan penelitian para ahli sejarah, model penceritaan seperti ini juga muncul di antara cerita-cerita penciptaan bangsa Sumeria. Cerita-cerita yang sama berkembang luas di antara masyarakat Semit lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa cerita ini adalah suatu bentuk pengadopsian dari tradisi yang ada dan berkembang pada waktu itu.

P mengadopsinya dengan sangat baik dan mendandaninya dengan unsur-unsur teologis yang sangat kental dengan semangat monotestiknya. Alhasil, ketika mitos purba bercerita tentang pujian para dewa atas hasil ciptaan mereka, P dengan berani menyatakan bahwa hanya ada satu Pencipta. Dialah yang mencipta, mengevaluasi, memberi nilai, dan akhirnya memuji karya-NYA.

Badal

Kalimat terakhir dari ayat 4 ini berbunyi “wayyavdel Elohim ben ha’or uven hakhoshekh” (dan Elohim memisahkan terang itu dari gelap/kegelapan). Kata wayyavdel berakar dari kata badal, yang artinya “memisahkan” atau “membedakan.”

Mereka yang menolak konsep penciptaan versi Alkitab sering menjadikan ayat ini sebagai argumen untuk penolakan yang mereka lakukan. Menurut mereka, Alkitab pernah berasumsi bahwa terang dan gelap adalah dua hal yang awalnya menyatu. Jadi, ketika Elohim menciptakan terang, pada saat yang sama IA menciptakan gelap. Keduanya adalah satu paket dan satu kesatuan. Di sinilah letak kesalahan Alkitab dalam melukiskan alam semesta, demikian argumen mereka.

Beberapa penafsir Kristen, termasuk John Gill dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible, bersikeras bahwa pada awal penciptaan, terang dan gelap adalah dua hal yang menyatu. Dengan cara apa terang itu bisa memisahkan diri dengan gelap, itu adalah persoalan lain. Jawaban itu hanya ada pada Elohim, dan manusia tidak akan pernah menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Demikian dikatakan Gill.

Penafsir lain mengatakan bahwa sebelum Elohim menciptakan terang, kegelapan itu sudah ada. Dalam ayat 2 dengan jelas dikatakan bahwa pada waktu itu, gelap gulita menutupi thehom. Justru, kehadiran terang itu adalah untuk menerangi kegelapan. Maka, muncullah pertanyaan lain terhadap model pemikiran ini, “Siapa yang menciptakan gelap?”

Jika gelap gulita telah ada sebelum penciptaan hari pertama, berarti ada yang menciptakan kegelapan itu. Ia tidak mungkin ada tanpa ada penyebabnya. Thomas Aquinas mengatakan bahwa pembuktian sederhana akan keberadaan TUHAN adalah dengan melihat alam semesta. Menurut Aquinas, alam semesta ini memiliki penggerak yang tidak digerakkan oleh apapun. Itulah TUHAN. Segala sesuatu bersumber dari-NYA. Bagaimana dengan kegelapan?

Kegelapan rupanya merupakan dimensi lain yang tidak diperhitungkan oleh P. Ia memulai cerita penciptaan dengan penciptaan terang, sementara pada bagian awal ia telah lebih dulu berbicara tentang kegelapan dalam suatu dunia yang ia sebut thehom. Kini, jika kita ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan, “dari mana kegelapan itu berasal?” dan “siapa pencipta thehom?” maka kita tidak akan menemukan jawabannya pada naskah P ini.

Problemnya tidaklah sesederhana yang kita bayangkan, kegelapan selalu diidentikkan dengan kejahatan dan kekacauan (baca: chaos), maka, jika ia berasal dari Elohim, akan muncul persoalan bagaimana mungkin IA menciptakan kejahatan dan kekacauan? Sementara, jika ia berasal bukan dari Elohim, maka siapa yang menciptakannya? Apakah ada pencipta lain di luar Elohim yang telah menciptakan kejahatan dan kekacauan sebelum Elohim menciptakan shamayim dan erets?

Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada penafsiran kita terhadap kata khosekh. Pada ayat 2, khosekh merupakan suatu istilah simbolis untuk menunjukkan kekosongan atau ketiadaan. Ini untuk menggambarkan bahwa sebelum Elohim menciptakan segala sesuatu, hanya DIA-lah yang eksis, tidak ada yang lain.

Pada ayat 4, khosekh harus dilihat sebagai fenomena alam. Ia digunakan untuk menamakan bagian lain di luar or (terang), yang dapat dilihat oleh manusia. Jadi, kesatuan yang disebutkan oleh Gill barangkali menunjukkan kesatuan kumpulan, dimana di dalamnya terdapat terang dan gelap. Artinya, ketika Elohim menciptakan terang, IA juga menciptakan kegelapan, hanya saja kegelapan belum memiliki nama atau sebutan. Baik terang maupun gelap, sama-sama disebut or.

Untuk itu, agar dua fenomena alam ini dapat dikenali manusia dengan lebih baik, maka muncullah pemisahan dalam pengertian pemberian nama dan penentuan waktu. “Pemisahan” antara terang dan gelap pada ayat ini adalah “pemisahan” dalam makna “pengaturan.”

Elohim menghendaki ciptaan-NYA berjalan secara teratur dalam rancangan-NYA. IA tidak menghendaki adanya kekacauan seperti digambarkan pada ayat 2. Jadi, hal lain yang penting untuk kita maknai dari proses penciptaan adalah “keteraturan” atau “keseimbangan.” IA menciptakan keseimbangan di dunia ini, dan keseimbangan itulah yang harus dijaga oleh manusia [oyr79].

Tidak ada komentar: