Dalam Bahasa Ibrani tidak ada perbedaan antara “nama”, “sebutan” dan “gelar.” Kata “shem” dalam Bahasa Ibrani menunjukkan “nama” sekaligus “sebutan.” Kata ini digunakan dalam penyebutan nama diri atau nama pribadi (personal name), baik untuk orang, binatang, tumbuhan maupun tempat dan benda, misalnya dalam Kejadian 2:11 (nama sungai), 3:19 (nama orang), 4:17 (nama kota), dan sebagainya.
Kata “shem” juga digunakan untuk penyebutan nama generik atau sebutan (generic name), misalnya dalam Kejadian 5:2 (laki-laki dan perempuan diberi nama “manusia”), Kejadian 16:13 (Hagar menamai TUHAN: “El Ro’i”), 21:33 (Abraham menyebut nama TUHAN: “El ‘Olam” artinya “Ilah yang kekal”), Keluaran 6:2 (TUHAN menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub dengan nama “El Shadddai” artinya “Ilah Yang Berkuasa”), 34:14 (nama TUHAN disebut “Qanna” artinya “Cemburuan”), Mazmur 48:11 (“Elohim” digunakan sebagai nama TUHAN), Yesaya 9:5 (nama Mesias disebut “Penasihat Ajaib”, “Ilah Yang Perkasa”, “Bapa Yang Kekal” dan “Raja Damai”), 57:15 (nama TUHAN disebut “Qaddosh” artinya “Yang Maha Kudus”), Amos 5:27 (nama TUHAN disebut “Elohim Tseva’oth” artinya “TUHAN Semesta Alam”), dan banyak lagi ayat pendukung dalam Alkitab.
Istilah lain dalam Alkitab yang diterjemahkan “sebutan” adalah “qara” dan “zeker.” Tetapi, kedua istilah ini sama sekali tidak untuk dibedakan dengan “nama” (shem). Sebab, dalam Alkitab, kata “qara” sering menggantikan kata “shem” (misalkan 1Samuel 4:21). Sementara kata “zeker” lebih tepat diterjemahkan “memorial” atau “peringatan.”
Dalam Perjanjian Baru, pembedaan antara “nama”, “sebutan” dan “gelar” di kalangan Yahudi juga tidak ditemukan. Misalnya, “Kristus” yang adalah gelar bagi Yesus juga dianggap sebagai “nama” (onoma) bagi Yesus (Roma 15:20).
Nama TUHAN
Apakah TUHAN memiliki “nama pribadi” (personal name)? Inilah yang menjadi perdebatan di kalangan umat Kristen, yaitu ketika orang-orang Kristen berusaha membedakan antara “nama pribadi” (personal name) dengan “nama umum” (generic name). Sementara, dalam tradisi Semit, tidak dikenal pembedaan itu.
Sebagian orang kemudian menyimpulkan bahwa “YHWH” adalah “nama pribadi” TUHAN. Alasannya adalah, itulah nama yang diperkenalkan TUHAN kepada Musa dalam Keluaran 3:15 dan dianggap sebagai nama TUHAN turun-temurun yang wajib dipelihara dan dihormati.
Uniknya, nama “YHWH” baru diperkenalkan TUHAN kepada Musa dan belum diperkenalkan kepada Abraham, Ishak dan Yakub (Keluaran 6:2). Tentulah, nama ini juga belum diperkenalkan kepada generasi-generasi sesudah Yakub dan sebelum Musa. Sebab, jika nama itu sudah diperkenalkan sebelumnya kepada generasi-generasi itu, maka Musa tidak perlu lagi bertanya “siapa nama TUHAN.”
Pertanyaan Musa dalam Keluaran 3:13 mengenai “nama TUHAN” merupakan pengaruh dari budaya sekitar, khususnya Mesir, yang mengenal adanya “nama” bagi sembahan mereka. Tetapi, respon TUHAN pada ayat 14 adalah “ehye asher ehye” (harafiah: “yang akan ada adalah yang akan ada”, LAI menerjemahkan “AKU ADALAH AKU”). Dipertegas lagi pada kalimat berikutnya, “ehye” (harafiah: “yang akan ada” atau “yang telah ada”, LAI menerjemahkan “AKULAH AKU”). Baru kemudian pada ayat 15 muncul nama “YHWH.”
Respon TUHAN ini secara jelas menunjukkan bahwa DIA tidaklah bisa dibatasi oleh apapun, termasuk oleh sebuah nama. DIA yang dipanggil dengan nama “El Shaddai” pada zaman Abraham, Ishak dan Yakub adalah DIA yang sama dengan yang dipanggil “Elohim” ataupun “YHWH.”
YHWH
Meskipun TUHAN memiliki banyak sekali “nama” (shem), tetapi nama “YHWH” memang merupakan satu-satunya nama yang unik. Unik sebab nama ini tidak pernah diberi kata sandang “ha-” dan tidak memiliki akar kata yang bisa ditelusuri. Keunikan lainnya adalah nama ini tidak memiliki padanan dengan nama-nama sembahan bangsa Semit lainnya.
Mungkin inilah alasan lain kenapa YHWH kemudian dianggap sebagai “nama pribadi” TUHAN. Namun, jika kita ingin konsisten dengan tradisi Semitik, maka sebaiknya kita tidak membeda-bedakan antara “nama pribadi” dengan “nama umum” itu, sebagaimana lazimnya tradisi Semit.
Dalam kerangka teologis, memang nama YHWH perlu mendapatkan perhatian khusus. Orang Israel menyebut nama ini sebagai nama yang kudus, yang tidak boleh digunakan secara sembarangan (lashshaw), berangkat dari penafsiran mereka akan Keluaran 20:7.
Kata “lashshaw” (dengan sembarangan) dalam Keluaran 20:7 berakar dari kata sho atau sho’a, artinya “tindakan yang bersifat merusak atau merugikan.” Jadi, pengertian dalam Keluaran 20:7 seharusnya adalah “jangan menggunakan nama YHWH untuk hal-hal yang bersifat merusak atau merugikan, sebab YHWH akan menganggap bersalah orang yang menyebut nama-NYA untuk hal-hal yang bersifat merusak atau merugikan.”
Itulah sebabnya, orang-orang Israel kemudian membatasi penggunaan nama YHWH untuk hal-hal yang bersifat ibadah (termasuk perang untuk membela nama TUHAN, kota TUHAN, bait TUHAN dan umat TUHAN).
Nama YHWH adalah yang paling sering muncul dalam Perjanjian Lama (PL). Nama ini juga populer disebut “Tetragrammaton”, suatu istilah dalam Bahasa Yunani yang berarti “kata yang terdiri dari empat huruf.” Sering juga disebut “Quadriliteral.”
Nama ini muncul pertama kali dalam Kejadian 2:4 dan digunakan bersama-sama dengan nama Elohim (YHWH Elohim). Selanjutnya dalam keseluruhan PL, nama ini muncul hampir 6528 kali.
Dalam Septuaginta (LXX), nama YHWH diterjemahkan KURIOS dengan penggunaan huruf kapital semuanya. Sebab, dalam menjaga kekudusan nama itu, orang-orang Yahudi melarang penggunaan nama YHWH di luar Bait YHWH, baik dalam penulisan maupun pengucapan. Sementara, naskah LXX merupakan naskah yang cukup luas digunakan di luar Bait YHWH.
Model penulisan ini kemudian diikuti dalam alkitab terjemahan Inggris, dimana kata YHWH diterjemahkan LORD dan GOD. Dalam alkitab terjemahan LAI, kata YHWH sering diterjemahkan TUHAN dan ALLAH. Demikian juga dalam hal pengucapan. Orang-orang Yahudi menyebut YHWH dengan sebutan “ADONAI” ( TUHAN) atau “HASHSHEM” (Sang Nama).
Pada periode Bait YHWH, nama YHWH masih dibacakan oleh imam dalam liturgi pengucapan berkat imamat (Bilangan 6:24-26) setelah persembahan kurban harian. Dasar untuk tetap membacakan nama YHWH dalam berkat imamat adalah dalam Bilangan 6:27. Namun, jika ibadah dilakukan di sinagoge, nama YHWH tidak disebutkan melainkan digantikan dengan ADONAI. Pada perayaan Yom Kippur, Imam Besar menyebutkan nama YHWH sebanyak sepuluh kali dalam doa dan berkat.
Menjelang kejatuhan Yerusalem, nama YHWH tetap dibacakan tetapi dengan suara yang tidak nyaring, sehingga nama itu pun tidak terdengar dalam kantilasi para imam. Setelah kehancuran Bait YHWH (70 M), penyebutan nama YHWH dalam liturgi pun tidak dilakukan lagi. Meski demikian, tradisi penyebutan nama YHWH tetap dilakukan di sekolah-sekolah para rabbi.
Tradisi ini kemungkinan bertahan di sekolah-sekolah para rabbi hingga abad ke-4, dan setelah itu, tidak ada literatur yang dapat memberikan informasi mengenai penyebutan nama YHWH.
Di kalangan Samaritan, yang telah banyak melakukan modifikasi terhadap tradisi Yudaisme, nama YHWH hanya digunakan dalam pengucapan sumpah ketika terjadi skandal di antara para rabbi. Menurut penelitian, di kalangan Samaritan modern, nama YHWH dibaca Yahweh atau Yahwa.
Di kalangan Kristen, upaya untuk menemukan kembali cara penyebutan yang benar terhadap nama YHWH tetap dilakukan di antara bapak-bapak gereja. Epifanius, yang lahir di Palestina, menuliskan YHWH dalam Bahasa Yunani dengan iabe dan dibaca iave. Sementara, Theodoret, yang lahir di Antiokhia, menuliskan bahwa kaum Samaritan menyebut YHWH dengan sebutan yang sama (iabe), namun dalam beberapa bagian lainnya, ia justru menulisnya iabai.
Para ahli modern kemudian melacak dari periode pemberian bunyi vokal dalam huruf Ibrani oleh kalangan Masora atau yang lebih populer disebut Masoret. Dalam naskah Masora, kata YHWH diberi vokal YEHOWAH. Bentuk ini muncul sebanyak 6518 kali dalam keseluruhan Teks Masora. Dari sinilah muncul istilah Inggris JEHOVAH, dimana huruf yod dibaca J (band. Yerushalayim menjadi Jerusalem) dan waw dibaca V (band. Dawid menjadi David).
Menurut para pendukung penyebutan YEHOWAH atau JEHOVAH, penyebutan ini muncul dengan memasukkan bunyi vokal pada kata Adonai ke dalam kata YHWH. Namun, penyebutan ini kemudian dikritik oleh para ahli bahasa modern.
Secara grammatikal, memasukkan bunyi vokal Adonai ke dalam YHWH merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Sebab, pada kata Adonai, konsonan alef diberi vokal khataf patakh (a), yang digunakan untuk konsonan-konsonan gutteral (huruf-huruf tenggorokan). Sementara, kata YHWH diawali dengan konsonan yod, yang bukan konsonan gutteral. Akibatnya, bunyi vokal khataf patakh harus mengalami modifikasi menjadi shewa untuk bisa sesuai dengan kata YHWH.
Meskipun khataf patakh dan shewa sama-sama merupakan bunyi lemah, dan merupakan allofon dari fonem yang sama, tetapi perubahan ini tidak bisa diterima oleh kebanyakan ahli linguistik modern. Karenanya, para ahli modern mengatakan bahwa pemberian vokal Adonai pada kata YHWH oleh kelompok Masora bukanlah dengan tujuan supaya kata YHWH dapat dibaca, melainkan dengan tujuan supaya ketika orang menemukan kata YHWH, maka mereka membacanya Adonai.
Salah satu pakar Bahasa Ibrani yang keberatan dengan teori di atas adalah Wilhelm Gesenius (1786-1842). Karena itu, ia lebih setuju jika rekonstruksi tetragammaton dilakukan dengan mengkaji ulang transliterasi Yunaninya yang digunakan di kalangan Yudaisme, Samaritan, dan bapak-bapak gereja mula-mula.
Penyelidikan juga dilakukan terhadap penggunaan nama YHWH pada nama orang dalam PL. Hasilnya adalah nama itu muncul dalam bentuk Yeho- atau Yo- ketika berada di depan nama orang (misalnya: Yehoshu’a; Yoram), dan menjadi –Yahu atau –Yah ketika berada di belakang nama orang (misalnya: Yisayahu; Adoniyah).
George Wesley Buchanan mengatakan bahwa dalam bentuk-bentuk singkatan, nama YHWH lebih sering muncul dalam bentuk Yah atau Yo, misalnya dalam kitab-kitab sastra, khususnya Mazmur. Jika diucapkan dengan tiga suku kata, maka kemungkinan yang terdekat adalah Yahowah atau Yahuwah, sedangkan dalam dua suku kata kemungkinan yang terdekat adalah Yaho.
Dalam tulisan bapak-bapak gereja, transliterasi Yunani yang paling dominan muncul untuk YHWH adalah:
1. Iaôuê; Iabe
2. Iao; Iae
3. Aia
4. Ia
dari keempat model tersebut, sebutan Iabe digunakan oleh kalangan Samaritan sehingga diyakini sebagai penyebutan yang paling mendekati dengan penyebutan kuno terhadap YHWH.
Dari situlah kemudian muncul sebutan Yahweh yang kemudian didukung dengan sejumlah naskah sekunder lainnya, di antaranya salah satu papirus dan naskah-naskah Ethiopia tentang Yesus. Meskipun Yahweh dianggap sebagai penyebutan yang paling mendekati sebutan kuno, namun, para penafsir Yahudi tetap tidak mau menerima sebutan itu.
Di kalangan Yahudi, sebutan Yehowah (Jehovah) dan Yahweh sama-sama ditolak. Alasannya, di samping karena tradisi yang mengharuskan demikian, mereka juga menganggap sebutan-sebutan itu hanyalah hipotesis yang sewaktu-waktu bisa berubah dengan berbagai penemuan manuskrip-manuskrip kuno. Hal yang sama berlaku untuk penulisan ke dalam huruf lain (transliterasi).
Ketika menuliskan YHWH ke dalam teks Latin Inggris, mereka menulisnya G-d. Bahkan, di kalangan ortodoks, penulisan ke dalam teks Ibrani pun mengalami penyingkatan menjadi יי (YY) demi penghormatan terhadap YHWH.
Nama ini sering digabungkan dengan istilah-istilah tertentu:
- YHWH Yir’e – “YHWH akan menyediakan”
harafiahnya “YHWH akan melihat” dan lebih sering di baca Yire (atau versi Inggrisnya: Jireh), padahal seharusnya dibaca Yir-e dari kata Ra’a (ראה) – Kejadian 22:8,14
- YHWH Rafa – “YHWH Yang menyembuhkan”
Keluaran 15:26
- YHWH Nissi – “YHWH adalah panji-panjiku”
ini tidak dipahami sebagai Nama TUHAN tetapi lebih sebagai peringatan suatu peristiwa – Keluaran 17:15
- YHWH Shalom – “YHWH adalah keselamatan”
Kata Shalom memiliki makna luas dalam Bahasa Ibrani, meliputi “kedamaian, kesejahteraan, ketentraman, kemakmuran, dan sebagainya” – Hakim-hakim 6:24
- YHWH Ra’i – “YHWH adalah gembalaku”
Lebih sering disebut YHWH Ra’a “YHWH adalah gembala” – Mazmur 23:1
- YHWH Tsidqenu “YHWH adalah keadilan kita”
Bisa juga berarti “YHWH adalah kebenaran kita” – Yeremia 23:6; 33:16
- YHWH Shamma “YHWH hadir di situ”
Bisa juga berarti “YHWH hadir” – Yehezkiel 48:35
- YHWH Tseva’oth – “YHWH Semesta Alam”
Harafiahnya “YHWH bala tentara” – 1Samuel 1:3; 17:45
Elohim
Nama “Elohim” berakar dari kata “El.” Kata El diadopsi dari bahasa Kanaan, kerajaan kecil yang pertama kali direbut Israel sekeluarnya dari Mesir. Di Kanaan, menurut sejarah, El merupakan nama kepala dewa Kanaan dan ayah dewa Baal. Kata ini memiliki padanan dengan kata “Il” dalam bahasa Ugarit dan Arab. Secara harafiah, kata ini sebenarnya berarti “kekuatan; tenaga; Yang Perkasa; pahlawan.” Digunakan juga untuk manusia dan benda
Merupakan sebutan umum bagi sembahan/ilah di wilayah Semitik. Di wilayah Semit Timur (Akkadian) dikenal il, illi, ili Dalam dialek Amorit (Arab Utara): ila, ilah, ilum
Dalam Bahasa Syria (abad ke-7): alaha
Dalam Bahasa Kanaan: el
Dalam Bahasa Ibrani: el, eloah, elah
El muncul sebanyak 242 kali dalam PL (sudah termasuk bentuk-bentuk perubahannya) diterjemahkan:
1. TUHAN
2. Kuasa/kemampuan
3. Penghuni surgawi
4. Ilahi
5. Hawa nafsu
Untuk membedakan dengan nama ilah lain di wilayah Semit, dalam Alkitab, ketika El merujuk kepada YHWH (TUHAN Israel) selalu disertai dengan kata sifat tambahan
Misalnya: El-Shaddai (El Yang Maha Kuasa), El ‘Elyon (El Yang Maha Tinggi), El ‘Olam (El Yang Kekal), El-Ro’i (El Yang Melihat), El Elohe Yisra’el (El Ilah Israel), El-Hakkavod (El Yang Mulia)
Bentuk lain dari “El” adalah Eloah muncul sebanyak 56 kali dalam PL (sudah termasuk bentuk-bentuk perubahannya) diterjemahkan “Allah” dalam TB-LAI, baik merujuk kepada TUHAN Israel maupun tuhan bangsa lain (2Tawarikh 32:15)
Paling sering muncul dalam kitab-kitab sastra, khususnya Ayub (40 kali). Dalam kitab Taurat, hanya muncul dalam kitab Ulangan.
Asal kata ini tidaklah jelas. Banyak ahli meyakini bahwa kata ini telah digunakan sejak milenium ke-2 SM (Ulangan 32:15) dan abad ke-5 SM (Nehemia 9:17). Dalam bahasa Arab, kata ini sepadan dengan kata Ilah, sedangkan dalam bahasa Aramik kuno (Kasdim), kata ini sepadan dengan kata Elah, yang diterjemahkan “Allah” dan “dewa.”
Kata Elah muncul sebanyak 95 kali dalam kitab-kitab PL yang dituliskan dalam Bahasa Aramik (Ezra dan Daniel) juga diterjemahkan “Allah” dan “dewa.”
Kata Elah dominan digunakan dalam kitab Ezra, yaitu sebanyak 43 kali dan selalu merujuk kepada TUHAN Israel. Dalam kitab Yeremia, satu-satunya ayat yang ditulis dengan Bahasa Aramik, yaitu 10:11, kata ini digunakan untuk menyebutkan “para ilah”
Kata Elohim muncul sebanyak 2.605 kali dalam PL. Elohim adalah bentuk jamak dari kata El dan Eloah. Namun, dalam PL, kata ini justru lebih sering digunakan dalam bentuk tunggal, yaitu ketika menyebut TUHAN Israel.
Karena merupakan bentuk jamak, banyak penafsir Kristen mengaitkan Elohim dengan Trinitas. Sementara, para penafsir kontemporer lebih melihatnya sebagai pengaruh atau bias politeisme di sekitar Israel. Kedua pendapat ini tidak didukung oleh bukti-bukti identik, baik dari Alkitab maupun dari luar Alkitab (tradisi Ibrani dan literatur lain).
Dalam tradisi Ibrani, penggunaan bentuk jamak sudah lazim dimaksudkan untuk mengintensifkan/memperluas gagasan yang dikemukakan dalam bentuk tunggalnya. Misalnya kata langit dan air selalu muncul dalam bentuk jamak: shamayim dan mayim. Dengan demikian, Elohim mengarahkan perhatian kepada kepenuhan TUHAN yang tak kunjung habis, kepada kelimpahan hidup dalam TUHAN.
Adonai
Kata “Adonai” merupakan bentuk jamak dari kata “Adoni” artinya “tuanku, Tuhanku.” Kata ini berakar dari Adon, yang berasal dari Bahasa Ugarit, Funisia dan Akkadian, artinya “Tuan, Junjungan, atau Tuhan.” Biasanya digunakan untuk menyebutkan seseorang yang memiliki kuasa atas para budak (Kejadian 24:9). Sering juga digunakan untuk para raja dan pejabat-pejabat kerajaan. Dalam PL, kata ini muncul sebanyak 334 kali.
Dalam Bahasa Funisia kata “Adonai” digunakan untuk menyebut dewa Tammuz, yang sejajar dengan dewa gembala Dumuzi di Sumeria.
Kata Adonai muncul sebanyak 432 kali dalam PL. Pada zaman PL, orang Ibrani menyebut YHWH dengan sebutan “Adonai” sebab bagi mereka, nama YHWH amatlah suci, sehingga tidak bisa disebutkan begitu saja, kecuali dalam ibadah-ibadah di Bait TUHAN.
Allah
Kata “Allah” berasal dari bahasa Arab dan berakar dari kata kuno Il (dari bahasa Ugarit) atau El (Kanaan). Sama halnya dengan El, kata Allah berawal dari sebutan lazim di tanah Arab terhadap kepala para dewa. Nama itu telah dikenal di Arab jauh sebelum Islam dan pernah ditemukan dalam prasasti di Afrika Utara.
Selain Allah, di Arab juga dikenal nama-nama dewa lainnya seperti Hubal, al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat. Allah diyakini sebagai kepala para dewa, sama seperti Zeus dalam mitologi Yunani atau El dalam mitologi Kanaan.
Menurut Carleton S. Coon, nama “Allah” awalnya hanyalah sebuah gelar untuk dewa bulan Arab, berasal dari dua kata “al-ilah” yang kemudian menjadi sebuah kata tunggal “Allah.” Teori ini begitu populer meskipun banyak yang menolaknya.
Mereka yang menolak teori ini mengatakan bahwa teori ini menyalahi bahasa dan kaidah bahasa Arab. Bentuk ma'rifat (definitif) dari kata ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab.
Penggunaan kata tersebut misalnya oleh Abul A'la al-Maududi dalam Mushthalahatul Arba'ah fil Qur'an dan Syaikh Abdul Qadir Syaibah Hamad dalam al-Adyan wal Furuq wal Dzahibul Mu'ashirah. Kedua penulis tersebut tidak menggunakan kata Allah, melainkan al-ilah sebagai bentuk ma'rifat dari ilah.
Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap isim (kata benda atau kata sifat) nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka isim ma'rifat kata itu pun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.
Robert Morey dalam bukunya berjudul Islamic Invasion: Confronting the World Fastest Religion menghubungkan nama “Allah” dengan dewa bulan bangsa Babel. Bukti yang digunakan oleh Morey untuk mendukung teorinya adalah adanya penggunaan simbol bulan sabit di atas kubah masjid.
Morey lupa bahwa penggunaan simbol bulan sabit di kalangan Islam baru dimulai pada sekitar tahun 1453 oleh penguasa Otoman Turki, yaitu ketika Muhammad II berhasil merebut Konstantinopel. Pada waktu itu, simbol bulan sabit menjadi simbol Kerajaan Turki dan Islam. Lambang bintang baru ditambahkan oleh Sultan Selim III pada 1793, tetapi bintang dengan lima sudut baru disahkan pada 1844.
Sebelum digunakan oleh Turki dan Islam, lambang bulan sabit digunakan sebagai simbol keterbukaan dan kejayaan di Byzantium, sebab menurut tradisi, bulan pernah membantu Byzantium dari serangan Filipus dari Makedonia pada tahun 339 SM. Untuk mengenang kemenangan itu, rakyat kemudian mengadopsi simbol bulan sabit Dewi Diana menjadi simbol kota. Ketika kota itu menjadi Kristen pada tahun 330 M, simbol bulan sabit menjadi atribut bagi Perawan Maria.
Morey juga tidak menelusuri sejarah bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen di Arab telah menggunakan nama Allah jauh sebelum Islam muncul. Dalam catatan sejarah Yahudi, bahasa Arab turut mempengaruhi bahasa Ibrani modern ketika dalam masa peralihan dari pengaruh abjad Samaria ke abjad Aramik. Kalangan Yahudi dan Kristen Arab menerjemahkan kata EL, Eloah, bahkan Elohim dengan kata Allah. Demikian juga terjemahan Syria untuk kata ALAHA yang digunakan Yesus dalam Markus 15:34.
Ketika Konsili Efesus digelar (431 M), nama seorang uskup di wilayah Arab Harits adalah Abd Allah (Hamba Allah). Sebuah prasasti kuno, yaitu prasasti Zabad, dari tahun 512 M bertuliskan “Bismillah” (dengan nama Allah) dilengkapi dengan tanda salib. Atau prasasti Umm al-Jimmal (abad ke-6) bertuliskan “Allahu Ghafran” (Allah yang mengampuni).
Di kalangan Yahudi, terkenal seorang Rabbi bernama Moshe ben Ma’imun. Dialah yang menuliskan buku Mishna di sinagoge Ben Ezra, Kairo, dalam Bahasa Ibrani dan Arab. Dalam tulisannya itu, Rabbi Moshe menerjemahkan kata “El” dan “Elohim” dengan kata “Allah.”
Umumnya orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi yang berbahasa Arab menggunakan kata Allah sebagai nama bagi TUHAN. Hal ini ditemukan dalam Tanakh dan Injil berbahasa Arab, dan dalam al-Qur’an.
Terjemahan Baru LAI
Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dalam menerjemahkan Alkitab dari Bahasa Ibrani, Aram dan Yunani ke Bahasa Indonesia menerjemahkan hampir semua nama TUHAN ke dalam Bahasa Indonesia. Satu-satunya nama yang dipertahankan adalah “El-Roi” (baca: El-Ro’i) dalam Kejadian 16:13.
Nama “YHWH” diterjemahkan seperti yang dilakukan oleh Septuaginta (LXX). LXX menerjemahkan YHWH dengan kata “KURIOS” dan LAI pun mengikutinya—sebagaimana juga dilakukan oleh sebagian besar lembaga-lembaga alkitab lainnya di dunia—dengan menerjemahkan nama “YHWH” menjadi “TUHAN” (menggunakan huruf kapital semuanya; KJV menerjemahkan “LORD”). Sedangkan “El”, “Eloah”, “Elah” dan “Elohim” diterjemahkan “Allah” (LXX menerjemahkan “Theos”; KJV menerjemahkan “God”).
Kata “Adon” dan “Adonai” diterjemahkan “Tuhan” (hanya huruf pertama yang menggunakan huruf kapital).
Kesulitan yang dihadapi LAI adalah ketika ditemukan kata “Adonai YHWH” (misalnya dalam Kejadian 15:2,8; Yosua 7:7). LAI terpaksa menerjemahkan “Tuhan ALLAH” (KJV menerjemahkan Lord GOD), sebab tentunya akan mengalami kesulitan dalam membaca jika ayat ini diterjemahkan mengikuti kaidah lainnya menjadi “Tuhan TUHAN.”
LXX menerjemahkan kata “Adonai YHWH” dengan beragam bentuk: “despotes KURIOS” (Kejadian 15:2,8), “adonaie KURIOS” (Hakim-hakim 16:28), “KURIOS” (Yosua 7:7; dalam kitab Yehezkiel), dan “kurie mou kurie” (2Samuel 7:18-22, 28, 29).
Nama TUHAN dalam Liturgi Ibrani
Dalam 2Tawarikh 6:14 dan 15, dituliskan mengenai doa berkat Salomo dalam pentahbisan Bait Suci.
(14) “Ya YHWH, TUHAN Israel” (YHWH Elohe Yisra’el)—“tidak ada ilah seperti ENGKAU” (Ein-kamokha Elohim)
Bagian awal dari doa berkat Salomo (ay. 14,15) berisi pengudusan nama TUHAN (YHWH). Ini lazim dalam doa-doa Ibrani sebagaimana juga Doa BAPA Kami yang diajarkan Yesus.
Pengudusan nama TUHAN dalam doa berkat ditegaskan dalam Bilangan 6:27 “harus mereka meletakkan nama-KU (wesamu eth-shemi)... maka AKU akan memberkati mereka (wa’ani avarakhem)”
Sebagaimana lazimnya sebuah doa resmi atau doa yang diucapkan dalam ibadah-ibadah umum dan upacara-upacara khusus, maka unsur-unsur kredo (syahadat) selalu ada di dalamnya. Sebab, doa bersama juga mengandung pengajaran bagi umat.
Karena itu, Salomo menekankan prinsip-prinsip iman mengenai TUHAN yang ia sembah:
1. YHWH ADALAH NAMANYA (band. ay. 16, 17, dan 19—band. juga Kolose 1:3; Q 29:46; 3:84)
Ini menegaskan kepada siapa doa itu ditujukan, sekaligus membedakan dengan ritual-ritual dan ilah-ilah bangsa lain (band. Keluaran 3:14,15; Mazmur 9:17; Matius 23:9; Mazmur 54:8; Keluaran 15:3; 1Raja-raja 18:24; Yesaya 42:8; 47:4; Yeremia 33:2; Mazmur 135:13).
Nama YHWH dihubungkan dengan perjanjian kekal antara TUHAN dengan umat-NYA, sebab nama YHWH mengandung makna kekekalan perjanjian itu sendiri.
Band. Kel. 3:14 “AKU ADALAH AKU” (Ehye Asher Ehye)
Kata EHYE (TB-LAI: “AKU”) dalam Bahasa Ibrani mengandung dua makna waktu, yaitu “sekarang” (present tense) dan “yang akan datang” (future tense).
Karena itu, dalam Complete Jewish Bible (CJB), kata EHYE diterjemahkan “AKU ADALAH” atau “AKU AKAN ADA.”
Pada kalimat selanjutnya, kata EHYE diterjemahkan “AKULAH AKU” untuk menegaskan bahwa YHWH adalah TUHAN Perjanjian, TUHAN yang tidak dipengaruhi oleh apapun juga dan yang ketetapan-NYA tidak dapat diubah oleh siapapun selain DIA.
2. IA ADALAH ESA (band. Galatia 3:20; Efesus 4:6; 1Timotius 2:5)
Prinsip monoteisme adalah prinsip iman yang utama dalam kredo Yahudi (band. Ulangan 6:4 dan penegasan Yesus dalam Markus 12:29).
Lihat juga Keluaran 8:10; Yesaya 40:25; Keluaran 34:14; 20:3; Yohanes 17:3.
3. DIA YANG MEMELIHARA “PERJANJIAN” (berith) DAN “KASIH SETIA” (khesed)
Dalam keseluruhan Perjanjian Lama, kata berith muncul sebanyak 285 kali, sedangkan kata khesed muncul sebanyak 249 kali (band. Kel. 15:13).
Yehi Shem YHWH Mevorakh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar