Minggu, 21 Desember 2008

TUHAN Menamai

TUHAN Menamai
Kejadian 1:5
Oleh: Yosi Rorimpandei
“Apalah arti sebuah nama” demikianlah William Shakespeare, sang pujangga Inggris, pernah menulis. Namun, ungkapan ini bukanlah ungkapan yang berlaku di kalangan Semitik, sebab dalam kultur Semit, “nama” justru memiliki arti penting bagi si pemberi nama dan bagi yang dinamakan.
Kejadian 1:5, yang menjadi bahan eksplorasi kali ini, menunjukkan betapa pentingnya arti sebuah “nama” bagi penulis kitab Kejadian dan bagi kultur yang diwakilinya. Naskah ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa “menamai” (yiqra, Ibr.) adalah suatu tugas ilahiah yang diemban manusia. Sebab, dengan “menamai,” manusia telah menunjukkan bagaimana melekatnya dia dengan TUHAN, Sang Pencipta. Dengan “menamai” juga, manusia mengukuhkan dirinya sebagai gambar (tselem, Ibr.) dan rupa (demuth, Ibr.) TUHAN, atau yang lebih populer di kalangan Kristen sebagai imago Dei (Lat.).

Berdasarkan teori empat sumber, yang menjadi pegangan kita dalam eksplorasi naskah-naskah Tora (Taurat), Kejadian 1:5 ini masih merupakan bagian dari karya yang berasal dari sumber P. Bagi P, “menamai” merupakan bagian yang sangat penting, dimana melalui proses “menamai” juga terkait konsep “memisahkan”.

Apabila kita mencermati proses penciptaan dalam naskah P, setiap babak penciptaan, proses “menamai” dan “memisahkan” adalah puncak suatu babak sebelum masuk ke babak berikutnya. Artinya, jika kita ingin memahami makna suatu “penciptaan,” kita tidak bisa berhenti sampai pada proses “mencipta” itu sendiri. Proses-proses yang mengikutinya adalah proses-proses yang tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan utuh dengan proses “mencipta.”

Perhatikan apa yang sudah kita bahas sebelumnya! Penciptaan hari pertama diawali dengan penciptaan terang, kemudian disusul dengan pemisahan antara terang dan gelap, diakhiri dengan penamaan setiap elemen ciptaan. Karena itu, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, penciptaan hari pertama bukanlah sebatas penciptaan terang, bukan juga penciptaan siang dan malam. Semuanya merupakan suatu rangkaian proses yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Menurut tradisi Semitik, penamaan adalah bagian yang tak terpisahkan dengan penciptaan sejak awal. Dengan kata lain, “menamai” paralel dengan “menciptakan”, sebagaimana juga kita temukan dalam naskah-naskah kuno lainnya di luar Alkitab, semisal Enuma Elish di Mesopotamia.

“Menamai” dan “menciptakan” dikatakan paralel dapat dijelaskan dengan identiknya nama dan yang dinamakan. Itulah sebabnya, pemberian nama dalam budaya Semitik sangatlah penting, termasuk perubahan nama, seperti dialami oleh Abraham, Sara, Yakub, dan sejumlah leluhur Israel. Pengaruh budaya ini terpelihara dengan sangat baik dalam dunia Yudais, sehingga pemberian nama Yesus pun tidak lepas dari pengaruh ini. Demikian juga dalam kasus Simon yang oleh Yesus diberi nama Kefas atau Petrus.

Namun, menamai bukan sekedar menunjukkan karakter yang dinamai. Menamai, dalam tradisi Semitik juga menunjukkan kuasa dari si pemberi nama atas apa yang dinamai. Itulah sebabnya dalam 2Raja-raja 23:34 dan 24:17, Firaun dan raja-raja Babel memberi nama kepada raja-raja yang mereka taklukkan.

Dengan demikian, menamai memiliki dua makna teologis: pertama, untuk menunjukkan identitas dari apa yang dinamakan, sekaligus menunjukkan tujuan penciptaannya; dan kedua, untuk menunjukkan bahwa si pemberi nama berkuasa atas apa yang dinamakan.

TUHAN, dalam ayat ini, dikatakan “menamai” terang dan gelap. Ada dua hal yang sangat penting dalam bagian ini: Pertama, untuk menunjukkan bahwa TUHAN memiliki kekuasaan, baik atas terang maupun gelap. Artinya, bukan hanya terang yang berada dalam kuasa TUHAN, melainkan juga gelap. Gelap bukanlah dimensi lain yang terlepas dari proses penciptaan itu, sehingga teori yang mengatakan bahwa kegelapan berada di luar kuasa TUHAN adalah teori yang bertentangan dengan konsep pemikiran P.

Kedua, inisiatif “menamai” (yiqra, Ibr.) adalah inisiatif yang pertama kali berasal dari TUHAN. Memberi nama adalah salah satu tugas ilahi yang kemudian diembankan kepada manusia sebagai imago Dei.

Petang dan Pagi

“Jadilah petang dan jadilah pagi” (wayehi-‘erev wayehi-voqer) adalah kalimat yang selalu menutup setiap babak penciptaan. Bagi beberapa penafsir Perjanjian Lama (PL) seperti H. R. Stroes, kalimat ini untuk menunjukkan bahwa permulaan hari itu adalah pada petang atau pagi hari.

Almanak Gregorian atau Kalender Masehi memulai harinya pada pagi hari, sedangkan almanak Ibrani memulai harinya pada petang hari. Menurut Stroes, kalimat ini mengungkapkan bahwa tidak ada perhitungan hari yang dimulai pada siang atau malam hari.

Namun, pendapat ini tidak banyak diterima. Pada kenyataannya kalender Romawi memulai perhitungannya pada tengah malam. Lagipula, tidaklah relevan untuk menggunakan pemahaman itu dalam memahami maksud penulisan naskah ini oleh P. Ini hanyalah petunjuk waktu bagi P sekaligus untuk menciptakan model paralel antar babak penciptaan yang memang khas dalam sastra Ibrani.

Penyebutan petang (‘erev) sebelum pagi (boqer) mendapat pengaruh dari perhitungan hari dalam tradisi Yudaisme. Secara filosofis-teologis, perhitungan semacam ini untuk menunjukkan arah tujuan hidup manusia, bahwa manusia bergerak dari kegelapan menuju terang, bukan sebaliknya (sebagaimana perhitungan kalender masehi yang kini kita gunakan).

Makna filosofis-teologis ini sekaligus untuk menunjukkan periode penciptaan yang dimulai dari periode chaos kepada periode harmonis. Sayangnya, filosofi yang sangat identik dengan makna ekklesia (gereja/jemaat) ini tidak dipertahankan oleh kekristenan modern, yang akibat terlalu akrab bercengkerama dengan budaya Romawi-Hellenis, sehingga menguburkan tradisi asalnya.

Hari

Pertanyaan yang selalu muncul antara para saintis dan teolog adalah apakah dunia ini diciptakan dalam tujuh hari? Dalam dunia sains, teori mengenai asal-usul dunia dan kehidupan telah berkembang dalam beragam teori, sementara, para teolog tidak punya sumber lain untuk menyusun teori baru soal penciptaan, selain tunduk pada apa kata alkitab.

Jalan alternatif yang coba ditempuh adalah mengaitkan kata “hari” (yom, Ibr.) dengan kata yang sama dalam Mazmur 90:4, dimana satu hari sama dengan seribu tahun. Pandangan ini sangat terkenal di kalangan Qabbala Yahudi. Menurut mereka, proses penciptaan terjadi dalam tujuh ribu tahun. Apakah betul penciptaan hanya terjadi dalam tujuh ribu tahun?

Payne Smith dalam tafsirnya terhadap kitab Kejadian berpendapat lain. Menurutnya, yom tidaklah merujuk pada periode dua puluh empat jam, melainkan menunjukkan suatu aeon, yaitu periode waktu yang indefinitif (tak tentu atau tak terbatas). Dengan demikian, menurut Smith, hari ketujuh merujuk pada periode sekarang dan akan terus berlangsung sampai pada kesudahan dunia, dimana manusia telah mengonsumsi semua materi.

Pandangan ini sangatlah populer, baik di kalangan Yahudi maupun Kristen. Namun, pandangan ini terlalu dipaksakan. Smith seakan-akan mau mengatakan bahwa periode sekarang adalah periode bagi TUHAN untuk beristirahat dan mengabaikan pandangan yang mengatakan bahwa proses pembentukan bumi masih terus berlangsung hingga kini.

Jelas bahwa kita tidak bisa memaksakan teologi P untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sains, sebab P tidak menulis suatu karya ilmiah untuk dunia sains. P sedang menjawab kebutuhan teologis umat mengenai penciptaan dan dia membahasakannya dalam bahasa teologis. Kita harus memerhatikan bahwa P dengan jelas menggambarkan yom itu sebagai satu hari dalam perhitungan kalender dan penciptaan terjadi dalam satu minggu. Pandangan ini jelas, sebab P menggunakan petunjuk waktu yang jelas: ‘erev (petang) dan boqer (pagi).

Lalu, apakah kita dengan alasan agama kemudian harus mengabaikan temuan-temuan sains dan memaksakan diri untuk menerima apa adanya kata alkitab? Tidak juga! P tidak sedang berbicara tentang asal-usul dunia secara kronologis dan ditail. Intinya, ia sedang mengungkapkan suatu teologi dasar bahwa dunia ini diciptakan TUHAN dalam suatu proses yang teratur. Setiap proses memiliki makna tersendiri bagi kehidupan umat. Karena itu, hendaknya umat mengucap syukur atas ciptaan TUHAN yang luar biasa ini dan menghargainya serta mengusahakannya secara bertanggung jawab.

Bagaimana dengan urutannya? P tidak menggunakan urutan kronologis, melainkan urutan liturgis yang menjadi tanda bagi umat untuk memaknai hidupnya dalam suatu ungkapan syukur dan refleksi diri.

Pertama

Teks Ibrani menggunakan kata ekhad, yang seharusnya diartikan “satu” bukan “pertama.” Kata ekhad dalam bahasa Ibrani merupakan bilangan kardinal (satu), bukan bilangan ordinal (pertama). Para penerjemah Alkitab menerjemahkan “pertama” karena hari kedua hingga ketujuh menggunakan bilangan ordinal.

Bagi para rabbi Yahudi, penggunaan bilangan kardinal tidak sekedar untuk menunjukkan urutan waktu, tetapi juga untuk memaknai hari itu. Menurut mereka, “hari satu” atau “hari yang satu” untuk menegaskan bahwa TUHAN sendiri yang menciptakan dunia ini.

Rabbi Naftali Silberberg, seorang pakar Talmud dari Amerika Serikat, mengutip penjelasan dari Talmud Khagiga 12a, mengatakan bahwa TUHAN telah menciptakan segala sesuatu pada hari pertama. Hari-hari selanjutnya, TUHAN hanya menata semua yang telah IA ciptakan. Ia mencontohkan matahari dan bulan. Menurutnya, matahari dan bulan telah diciptakan pada hari pertama, namun, baru diletakkan pada orbitnya pada hari keempat.

Dalam pemaknaan yang lebih dalam, para penafsir seperti Wenham melihat pada bentuk kesejajaran teks

1 - 4

2 - 5

3 - 6

7

Hari pertama sejajar dengan hari keempat. Inti hari pertama adalah “terang” dan inti hari keempat adalah “benda penerang.” Hari pertama, TUHAN memisahkan terang (siang) dan gelap (malam). Hari keempat, TUHAN menciptakan benda-benda angkasa yang memisahkan terang (siang) dan gelap (malam).

Wenham mengaitkan hal ini dengan liturgi Yahudi, dimana hari ketujuh merupakan hari untuk beristirahat penuh. Penjelasan Wenham cukup logis, mengingat naskah-naskah P sangat kaya dengan penjelasan mengenai asal-usul liturgi Yahudi [oyr79]


Tidak ada komentar: